Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Perkara yang wajib dilakukan oleh setiap hamba di dalam menjalani agamanya yaitu mengikuti apa yang dikatakan oleh Allah ta’ala dan apa yang dikatakan oleh Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam serta ajaran para khalifah yang terbimbing dan mendapatkan hidayah sesudah beliau; yaitu para Sahabat dan para pengikut mereka yang setia. Sebab Allah telah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa bukti-bukti dan petunjuk. Allah mewajibkan kepada seluruh manusia untuk beriman kepadanya dan mengikutinya secara lahir maupun batin.” (lihat Fathu Rabbil Bariyyah, hal. 7)
Risalah Nabi Muhammad Berlaku untuk Seluruh Umat Manusia
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah; ‘Wahai umat manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah bagi kalian semua. [Yang mengutusku adalah] Allah Dzat yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Tiada sesembahan yang haq selain-Nya Yang menghidupkan dan mematikan’. Maka berimanlah kalian kepada Allah dan rasul-Nya seorang nabi yang ummi (buta huruf) yang juga beriman kepada Allah dan kalimat-Nya, maka ikutilah dia agar kalian mendapatkan hidayah.” (QS. Al A’raaf: 158)
Ketika mengomentari ayat ‘Wahai umat manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah bagi kalian semua.’ Syaikh Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “Ayat yang mulia ini di dalamnya terdapat penegasan bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam rasul bagi semua manusia. Allah telah menegaskan hal itu dalam banyak ayat, seperti dalam firman-Nya (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutusmu kecuali untuk semua manusia.” (QS. Saba’: 28). Dan juga firman-Nya, “Maha suci Allah Dzat yang telah menurunkan Al Furqan kepada hamba-Nya agar dia menjadi pemberi peringatan bagi seluruh alam semesta.” (QS. Al Furqan: 1). Allah juga berfirman, “Barang siapa yang ingkar kepadanya maka sesungguhnya neraka adalah hukuman yang dijanjikan untuknya.” (QS. Huud: 17)
Di tempat yang lain, Allah memberlakukan keumuman risalah beliau itu dengan sampainya al-Qur’an ini kepada mereka yaitu firman Allah ta’ala, “Telah diwahyukan kepadaku al-Qur’an ini agar aku memberikan peringatan dengannya kepada orang-orang sampai kepadanya wahyu ini.” (QS. Al An’am: 19). Allah juga mempertegas keuniversalan risalah beliau ini untuk ahli kitab dan bangsa Arab sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan katakanlah kepada orang-orang yang diberikan al kitab dan orang-orang yang ummi (bangsa Arab), ‘Apakah kalian mau berislam, jikalau kalian mau berislam maka kalian telah mendapatkan hidayah.’ Dan jika mereka justru berpaling, maka sesungguhnya kewajibanmu hanyalah sekedar menyampaikan.” (QS. Ali ‘Imran: 20). Dan ayat-ayat yang lainnya.” (Tafsir Adhwa’ul Bayan, Maktabah Syamilah vol. 2)
Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandung arah pembicaraan yang tertuju kepada semua jin dan manusia dengan bermacam jenisnya. Allah tidak mengkhususkan suatu hukum apapun bagi bangsa Arab, namun Allah mengaitkan hukum-hukum tersebut dengan penamaan kafir dan mukmin, muslim dan munafik, orang baik dan orang fajir, orang yang berbuat ihsan dan orang yang melakukan kezaliman… dan nama-nama lain yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan Hadits. Sama sekali tidak terdapat di dalam al-Qur’an dan juga Hadits sebuah pengkhususan bangsa Arab dalam pemberlakuan sebuah ketentuan hukum syariat. Allah hanya mengaitkan hukum-hukum tersebut dengan karakter-karakter yang dapat menimbulkan kecintaan Allah atau yang dapat menyebabkan timbulnya kemurkaan Allah. Dan diturunkannya al-Qur’an dengan bahasa Arab itu adalah suatu proses tabligh/penyampaian semata. Karena orang yang pertama kali beliau ajari adalah kaumnya. Kemudian melalui perantaraan merekalah risalah ini disebarkan ke segenap umat manusia…” (Al Irsyad ila Sahih Al I’tiqad, hal. 224)
Hanya Agama Islam yang Diterima di Sisi Allah
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Kami memandang bahwa barang siapa yang pada masa sekarang ini mendakwakan bahwasanya ada sebuah agama yang diterima di sisi Allah selain agama Islam baik itu agama Yahudi, Nasrani ataupun yang lainnya maka orang tersebut kafir. Kemudian kalau seandainya orang itu sebelumnya adalah muslim maka dia harus diminta untuk bertaubat. Kalau dia menurut maka diterima taubatnya, dan jika tidak maka dia berhak dibunuh (oleh penguasa Islam -pent.) dengan status sebagai orang murtad karena dia telah berani mendustakan al-Qur’an.” (Syarh ‘Aqidati Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 269)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah ada seorang manusia pun yang mendengar tentang kenabianku di antara umat ini, entah dia beragama Yahudi ataupun Nasrani lantas tidak mau mengimani ajaran yang aku bawa ini melainkan dia pasti tergolong penduduk neraka.” (HR. Muslim)
Di dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diberikan lima hal yang tidak diberikan kepada nabi-nabi sebelum diriku…” di antara kelima hal itu adalah, “Dan nabi yang terdahulu diutus hanya kepada kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk seluruh umat manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh sebab itu Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab aqidahnya yang sangat populer, “Dan beliau (Nabi Muhammad) diutus untuk seluruh bangsa jin dan segenap umat manusia, dengan mengemban kebenaran dan hidayah, dengan membawa cahaya dan pancaran sinar (wahyu).” Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi rahimahullah mengatakan, “Keberadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasul yang diutus kepada semua manusia adalah perkara yang sudah pasti diketahui semua orang Islam sebagai bagian dari ajaran agama Islam.” (lihat Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 221-222)
Maka sangatlah wajar jika Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Kami memandang bahwa barang siapa yang pada masa sekarang ini mendakwakan bahwasanya ada sebuah agama yang diterima di sisi Allah selain agama Islam baik itu agama Yahudi, Nasrani ataupun yang lainnya maka orang tersebut kafir…” (Syarh ‘Aqidati Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 269)
Kewajiban Mengikuti Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafa’ ar Rasyidun
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa’ ar rasyidin al mahdiyin sesudahku. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan geraham-geraham. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya semua yang diada-adakan (dalam hal agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Tirmidzi dan lain-lain)
Ibnu Rajab mengatakan di dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (2/120), “Sunnah adalah suatu jalan yang ditempuh. Dengan demikian perintah tersebut (berpegang teguh dengan sunnah -pent) mencakup berpegang teguh dengan segala keyakinan, amal, maupun ucapan yang diajarkan oleh beliau dan para khulafa’ur rasyidin. Inilah makna sunnah secara sempurna. Oleh sebab itu para salaf terdahulu tidaklah menyebutkan istilah As Sunnah melainkan untuk menunjukkan makna yang mencakup hal itu semuanya…” (dinukil dari Fathu Al Qawiy Al Matin, hal. 97-98)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Khulafa’ ar Rasyidun adalah orang-orang yang menggantikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengemban ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Sedangkan orang-orang yang paling pantas untuk menyandang gelar ini adalah para Sahabat radhiyallahu ‘anhum, karena sesungguhnya Allah telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menegakkan agamanya. Sementara itu, tidaklah mungkin Allah ta’ala memilihkan -padahal Dia adalah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana- orang-orang untuk menjadi sahabat bagi Nabi-Nya kecuali orang-orang yang paling sempurna keimanannya, paling baik akalnya, paling konsisten dalam beramal, paling kuat tekadnya, dan yang paling mengikuti petunjuk dalam berjalan. Mereka adalah orang-orang yang paling berhak untuk diikuti sesudah Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para ulama pemimpin agama ini yang telah dikenal berjalan di atas petunjuk dan telah dikenal kebaikan agamanya.” (lihat Fathu Rabbil Bariyyah, hal. 8)
Kewajiban Menerima Hadits Sahih Meskipun Berstatus Ahad
Abu Ja’far Ath Thahawi yang kitab akidahnya telah diakui oleh ulama dari berbagai madzhab mengatakan, “Semua berita yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengandung aturan syariat ataupun penjelasan (tentang suatu perkara) semuanya adalah benar.” Ini menunjukkan bahwa semua hadits sahih dari Nabi harus diterima dan diyakini kebenarannya, meskipun ia berstatus ahad (bukan hadits yang banyak jalan periwayatannya, lawan dari mutawatir). Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi rahimahullah mengatakan, “Hadits ahad apabila diterima oleh umat dalam bentuk pengamalan ataupun pembenaran maka ia memberikan faedah ‘ilmu yaqini (pengetahuan yang harus diyakini) menurut mayoritas umat, bahkan ia tergolong salah satu tipe hadits mutawatir. Dan tidak ada perselisihan di antara para pendahulu umat ini tentang hal itu…” (lihat Al Minhah Al Ilahiyah, hal. 348-349)
An Nawawi rahimahullah di dalam Syarh Muslim (1/177) mengatakan, “Telah tampak dengan jelas dalil-dalil syariat dan argumen-argumen akal yang menunjukkan tentang wajibnya beramal dengan hadits ahad. Para ulama telah menetapkan hal itu beserta penunjukan-penunjukannya di dalam kitab-kitab fikih dan ilmu ushul. Mereka telah menyampaikannya dengan sejelas-jelasnya. Para ulama ahli hadits maupun pakar agama di bidang lainnya juga telah menulis karya yang banyak mengenai hadits ahad dan kewajiban untuk mengamalkannya, wallahu a’lam.” (dinukil dari Syarh Al Waraqat, hal. 213-214)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Hadits-hadits ahad -selain hadits ahad yang berderajat lemah- itu memberikan faedah, Pertama: Zhann/dugaan dalam artian kecenderungan benarnya penisbatan hadits tersebut kepada sumbernya. Dan hal itu bertingkat-tingkat bergantung pada derajatnya yang telah dijelaskan sebelumnya (yaitu hadits ahad ada yang sahih dan ada yang hasan, pent). Dan terkadang ia memberikan faedah ilmu (kepastian) apabila terdapat indikasi-indikasi yang mendukungnya dan ditopang oleh dalil-dalil yang lainnya. Kedua: Mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya. Apabila berupa berita maka harus dibenarkan, dan apabila berupa tuntutan maka harus diterapkan. Adapun hadits ahad yang lemah maka ia tidak memberikan faedah dugaan ataupun amalan, dan juga tidak boleh menganggapnya sebagai dalil. Serta tidak boleh menyebutkannya tanpa menerangkan kelemahannya…” (Taisir Mushthalah Hadits, hal. 19). Allahu a’lam.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar